Ahlan wa Sahlan

" Selamat Datang di Blog Manto Abu Ihsan,...Silahkan kunjungi juga ke www.mantoakg.alazka.org

Manto Abu Ihsan " Hadir untuk perubahan"

Manto Abu Ihsan " Hadir untuk perubahan"
H.Sumanto, M.Pd : " Siap membantu dalam kegiatan Motivation Building, Spiritual Power, Get Big Spirit and Character Building."

Wednesday, December 16, 2009

KISAH SEPUTAR HIJRAH ROSULULLAH SAW

Ali ra Menggantikan Rasulullah Saw
Quraisy berencana membunuh Muhammad, karena dikuatirkan ia akan hijrah ke Medinah. Ketika itu kaum Muslimin sudah tak ada lagi yang tinggal kecuali sebagian kecil. Ketika perintah dari Allah Swr datang supaya beliau haijrah, beliau meminta Abu Bakr supaya menemaninya dalam hijrahnya itu. Sebelum itu Abu Bakr memang sudah menyiapkan dua ekor untanya yang diserahkan pemeliharaannya kepada Abdullah b. Uraiqiz sampai nanti tiba waktunya diperlukan.
Pada malam akan hijrah itu pula Muhammad membisikkan kepada Ali b. Abi Talib supaya memakai mantelnya yang hijau dari Hadzramaut dan supaya berbaring di tempat tidurnya. Dimintanya supaya sepeninggalnya nanti ia tinggal dulu di Mekah menyelesaikan barang-barang amanat orang yang dititipkan kepadanya. Demikianlah, ketika pemuda-pemuda Quraisy mengintip ke tempat tidur Nabi Saw, mereka melihat sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mengira bahwa Nabi Saw masih tidur.

Bersembunyi di Gua Thaur
Menjelang larut malam, Rasulullah Saw keluar tanpa setahu mereka. Bersama-sama dengan Abu Bakr beliau bertolak ke arah selatan menuju gua Thaur. Hanya empat orang yang tahu keberadaan beliau berdua, yaitu Abdullah b. Abu Bakr, Aisyah dan Asma (puteri-puteri Abu Bakr), serta pembantu mereka ‘Amir b. Fuhaira. Bila hari sudah sore Asma, datang membawakan makanan buat mereka. Abdullah setiap hari berada di tengah-tengah Quraisy untuk memantau perkembangan yang terjadi untuk disampaikan pada beliau pada malam harinya. ‘Amir tugasnya menggembalakan kambing Abu Bakr’, memerah susu dan menyiapkan daging. Apabila Abdullah b. Abi Bakr kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang ‘Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejaknya.
Sementara itu pihak Quraisy berusaha sungguh-sungguh mencari mereka. Pemuda-pemuda Quraisy membawa pedang dan tongkat sambil mondar-mandir mencari ke segenap penjuru. Ketika itu mereka bergerak menuju ke gua tempat sembunyi. Lalu orang-orang Quraisy itu datang menaiki gua itu, tapi kemudian ada yang turun lagi. “Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” tanya kawan-kawannya. “Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir,” jawabnya. “Saya melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang di sana.”
Demikanlah, kalau saja mereka ada yang menengok ke bawah pasti akan melihat beliau berdua. Tetapi orang-orang Quraisy itu makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkulai di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Ketika itulah mereka lalu surut kembali. Rasulullah s.a.w. tinggal dalam gua selama tiga hari tiga malam. Tentang cerita gua ini dikisahkan dalam firman Allah Swt:
“Ingatlah tatkala orang-orang kafir (Quraisy) itu berkomplot membuat rencana terhadap kau, hendak menangkap kau, atau membunuh kau, atau mengusir kau. Mereka membuat rencana dan Allah membuat rencana pula. Allah adalah Perencana terbaik.” (Qur’an, 8: 30) “Kalau kamu tak dapat menolongnya, maka Allah juga Yang telah menolongnya tatkala dia diusir oleh orang-orang kafir (Quraisy). Dia salah seorang dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu itu ia berkata kepada temannya itu: ‘Jangan bersedih hati, Tuhan bersama kita!’ Maka Tuhan lalu memberikan ketenangan kepadanya dan dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu juga yang rendah dan kalam Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 40)

Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah tenang, unta kedua orang itu didatangkan. Asma datang makanan. Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya dipakai menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama “dhat’n-nitaqain” (yang bersabuk dua). Mereka kemudian berangkat.
Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, maka perjalanan ke Yathrib itu mereka mengambil jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Abdullah b. ‘Uraiqit – dari Banu Du’il – sebagai penunjuk jalan, membawa mereka ke arah selatan di bawahan Mekah, kemudian menuju Tihama di dekat pantai Laut Merah. Kedua orang itu beserta penunjuk jalannya sepanjang malam dan di waktu siang berada di atas kendaraan. Memang, Rasulullah Saw sendiri tidak pernah menyangsikan, bahwa Tuhan akan menolongnya, tetapi “jangan kamu mencampakkan diri ke dalam bencana.” Allah menolong hambaNya selama hamba menolong dirinya dan menolong sesamanya.

Suraqa
Ketika itu Quraisy mengadakan sayembara, barangsiapa bisa menyerahkan Muhammad akan diberi hadiah seratus ekor unta. Mereka sangat giat mencari Rasulullah Saw. Ketika terdengar kabar bahwa ada rombongan tiga orang sedang dalam perjalanan, mereka yakin itu adalah Muhammad dan beberapa orang sahabatnya. Suraqa b. Malik b. Ju’syum, salah seorang dari Quraisy, juga ingin memperoleh hadiah seratus ekor unta. Tetapi ia ingin memperoleh hadiah seorang diri saja. Ia mengelabui orang-orang dengan mengatakan bahwa itu bukan Muhammad. Tetapi setelah itu ia segera pulang ke rumahnya. Dipacunya kudanya ke arah yang disebutkan tadi seorang diri.
Demikian bersemangatnya Suraqa mengejar Nabi Saw hingga kudanya dua kali tersungkur ketika hendak mencapai Nabi. Tetapi melihat bahwa ia sudah hampir kedua orang itu, ia tetap memacu kudanya karena rasanya Muhammad sudah di tangan. Akan tetapi kuda itu tersungkur sekali lagi dengan keras sekali, sehingga penunggangnya terpelanting dari punggung binatang itu dan jatuh terhuyung-huyung dengan senjatanya. Suraqa merasa itu suatu alamat buruk jika ia bersikeras mengejar sasarannya itu. Sampai di situ ia berhenti dan hanya memanggil-manggil:
“Saya Suraqa bin Ju’syum! Tunggulah, saya mau bicara. Saya tidak akan melakukan sesuatu yang akan merugikan tuan-tuan.” Setelah kedua orang itu berhenti melihat kepadanya, dimintanya kepada Muhammad supaya menulis sepucuk surat kepadanya sebagai bukti bagi kedua belah pihak. Dengan permintaan Nabi, Abu Bakr lalu menulis surat itu di atas tulang atau tembikar yang lalu dilemparkannya kepada Suraqa. Setelah diambilnya oleh Suraqa surat itu ia kembali pulang. Sekarang bila ada orang mau mengejar Nabi Saw, maka dikaburkan olehnya, sesudah tadinya ia sendiri yang mengejarnya.

Perjalanan Hijrah Rasul Saw
Selama tujuh hari terus-menerus rombongan Rasulullah Saw berjalan, mengaso di bawah panas membara musim kemarau dan berjalan lagi sepanjang malam mengarungi lautan padang pasir dengan perasaan kuatir. Hanya karena adanya iman kepada Allah Swt membuat hati dan perasaan mereka terasa lebih aman. Ketika sudah memasuki daerah kabilah Banu Sahm dan datang pula Buraida kepala kabilah itu menyambut mereka, barulah perasaan kuatir dalam hatinya mulai hilang. Jarak mereka dengan Yathrib kini sudah dekati.
Selama mereka dalam perjalanan yang sungguh meletihkan itu, berita-berita tentang hijrah Nabi dan sahabatnya yang akan menyusul kawan-kawan yang lain, sudah tersiar di Yathrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus-menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan kedatangan Rasulullah dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak di antara mereka itu yang belum pernah melihatnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka rindu sekali ingin bertemu, ingin melihatnya.

Masyarakat Madinah
Tersebarnya Islam di Yathrib dan keberanian kaum Muslimin di kota itu sebelum hijrah Nabi ke tempat tersebut sama sekali di luar dugaan kaum Muslimin Mekah. Beberapa pemuda Muslimin bahkan berani mempermainkan berhala-berhala kaum musyrik di sana. Seseorang yang bernama ‘Amr bin’l-Jamuh mempunyai sebuah patung berhala terbuat daripada kayu yang dinamainya Manat, diletakkan di daerah lingkungannya seperti biasa dilakukan oleh kaum bangsawan. ‘Amr ini adalah seorang pemimpin Banu Salima dan dari kalangan bangsawan mereka pula. Sesudah pemuda-pemuda golongannya itu masuk Islam malam-malam mereka mendatangi berhala itu lalu di bawanya dan ditangkupkan kepalanya ke dalam sebuah lubang yang oleh penduduk Yathrib biasa dipakai tempat buang air. Bila pagi-pagi berhala itu tidak ada ‘Amr mencarinya sampai diketemukan lagi, kemudian dicucinya dan dibersihkan lalu diletakkannya kembali di tempat semula, sambil ia menuduh-nuduh dan mengancam. Tetapi pemuda-pemuda itu mengulangi lagi perbuatannya mempermainkan Manat ‘Amr itu, dan diapun setiap hari mencuci dan membersihkannya. Setelah ia merasa kesal karenanya, diambilnya pedangnya dan digantungkannya pada berhala itu seraya ia berkata: “Kalau kau memang berguna, bertahanlah, dan ini pedang bersama kau.” Tetapi keesokan harinya ia sudah kehilangan lagi, dan baru diketemukannya kembali dalam sebuah sumur tercampur dengan bangkai anjing. Pedangnya sudah tak ada lagi. Sesudah kemudian ia diajak bicara oleh beberapa orang pemuka-pemuka masyarakatnya dan sesudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa sesatnya hidup dalam syirik dan paganisma itu, yang hakekatnya akan mencampakkan jiwa manusia ke dalam jurang yang tak patut lagi bagi seorang manusia, iapun masuk Islam.

Mesjid Quba’
Ketika rombongan Rasulullah Saw sampai di Quba’, mereka tinggal empat hari ia di sana dan membangun mesjid Quba’. Di tempat ini Ali b. Abi-Talib ra menyusul, setelah mengembalikan barang-barang amanat – yang dititipkan oleh rasulullah Saw – kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Ali ra menempuh perjalanannya ke Yathrib dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.

Sampai di Madinah (Yathrib)
Demikanlah akhirnya rombongan Rasulullah selamat sampai Madinah. Hari itu adalah hari Jum’at dan Muhammad berjum’at di Medinah. Di tempat itulah, ke dalam mesjid yang terletak di perut Wadi Ranuna itulah kaum Muslimin datang, masing-masing berusaha ingin melihat serta mendekatinya. Mereka ingin memuaskan hati terhadap orang yang selama ini belum pernah mereka lihat, hati yang sudah penuh cinta dan rangkuman iman akan risalahnya, dan yang selalu namanya disebut pada setiap kali sembahyang. Orang-orang terkemuka di Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada mereka.
Tetapi ia dengan halus meminta maaf kepada mereka. Kembali ia ke atas unta betinanya, dipasangnya tali keluannya, lalu ia berjalan melalui jalan-jalan di Yathrib, di tengah-tengah kaum Muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang diliwatinya itu. Seluruh penduduk Yathrib, baik Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran Rasulullah Saw, seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan Aus dan Khazraj, yang selama itu saling bermusuhan, dan saling berperang.
Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Banu’n-Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Rasul turun dari untanya dan bertanya: “Kepunyaan siapa tempat ini?” tanyanya. “Kepunyaan Sahl dan Suhail b. ‘Amr,” jawab Ma’adh b. ‘Afra’. Dia adalah wali kedua anak yatim itu. Ia akan membicarakan soal tersebut dengan kedua anak itu supaya mereka puas. Dimintanya kepada Muhammad supaya di tempat itu didirikan mesjid. Muhammad mengabulkan permintaan tersebut dan dimintanya pula supaya di tempat itu didirikan mesjid dan tempat-tinggalnya.

HIJRAH : Antara Sejarah, Hikmah dan Makna

PENDAHULUAN
Tidak terasa tahun baru 1431 H akan segera tiba. Setahun sudah kita bergelut dengan waktu, di tahun 1430 H. Waktu laksana air yang mengalir ke hilir yang tak pernah lagi kembali ke hulu. Kadang ia membangkitkan gairah dan semangat, kadang ia melenakan kita. Kadang kita tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Oleh karenanya kita harus menghargai setiap kesempatan yang ditawarkan sang waktu, sebelum ditarik dari kita, karena kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya. Peribahasa Arab mengatakan “ Waktu laksana pedang, jika tidak mampu memanfaatkan waktu, maka kamu akan terhunus olehnya “. Tahun Hijriah, ditetapkan pertama kali oleh Kholifah Umar bin Khotob ra, sebagai jawaban atas surat Wali Abu Musa Al-As’ari. Kholifah Umar menetapkan Tahun Hijriah untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya, seperti Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia, kalender Romawi, dan kalender-kalender lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Kholifah Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai taqwim Islam, karena Hijrah Rosululllah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah merupakan persitiwa paling monumental dalam perkembangan dakwah. Professor Fazlu Rahman menyebut Hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calendar and the founding of Islamic community. Oleh karenanya, penting mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa Hijrah, baik individu, masyarakat ataupun negara
INDIVIDU
1. Meluruskan Niat
“Al-Muhajaroh” (Hijrah) sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri iman, sebagaimana para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Dan Hijrah di jalan Allah itu, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridho, harus dengan sebenar-benarnya. Artinya orang yang berhijrah dari negerinya adalah untuk mendapatkan ridho Allah dengan menegakkan agama-Nya yang merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Allah
Dalam sejarah, ada seorang sahabat yang berhijrah karena ingin menikahi ummu Qois, bukan karena niat ikhlas taat kepada Allah dan Rosulnya. Maka Rosulullah saw bersabda :“Bahwasannya semua amal itu tergantung niatnya, dan bahwasannya apa yang diperoleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrah karena Allah dan Rosulnya maka hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan Rosulnya, dan barang siapa yang hijrahnya, karena mencari dunia atau karena wanita yang akan nikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya dalam hijrahnya itu. (HR Bukhori dan Muslim)
Hikmah yang harus kita ambil adalah bahwa segala aktifitas ibadah dan dakwah kita hanya semata-mata karena Allah, bukan karena yang lain, misalnya untuk mengisi waktu luang, atau sekedar nambah ilmu dan wawasan. Sehingga kita akan bersungguh-sungguh dalam ibadah dan dakwah ini.
2. Ketaatan adalah Kewajiban, Bukan Pilihan
Allah swt berfirman :Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali (Annisa 97).Ayat diatas turun sehubungan dengan kasus lima orang pemuda muslim yang bergabung dengan kafir Makkah, lalu mati mengenaskan di perang badar oleh pasukan kaum muslimin. Tempat mereka adalah neraka jahannam sebagaimana firman Allah di atas. Persoalan ini berkaitan dengan sikap mereka yang tidak mau berhijrah bersama Rosulullah dari Makkah ke Madinah. Mereka tidak mau mengerti akan makna hijrah sebagaimana yang dilaksanakan Rosulullah dan para sahabatnya yang setia dan taat. Mereka mengira bisa melakukan siasat dan strategi sendiri dengan cara menyembunyikan keislamannya dengan tetap bergabung bersama-sama kafir Qurasy. Padahal Allah dan rosulNya telah memerintahkan hijrah. Maknanya adalah ketaatan terhadap Allah dan rosulNya, adalah kewajiban yang harus dijalankan, bukan suatu pilihan.
3. Yakin dengan Pertolongan Allah swt.Hijrah adalah rancangan dan strategi untuk melanjutkan perjuangan Dakwah Islam. Allah swt berfirman “Dan orang-orang yang beriman, berpindah dan berjuang di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan (kepada orang-orang yang berhijrah) dan memberikan pertolongan, itulah orang-orang yang sebenarnya beriman. Mereka beroleh ampunan dan rezeki yang berharga (Al-Anfal 74).Perjuangan yang dilalui Rosulullah dan para sahabat di Makkah tidaklah mulus dan ringan, tetapi jalan itu penuh onak dan duri, dan sangat berat sekali. Beliau dan kaum mukminin menerima berbagai cobaan, cercaan, teror, penyiksaan, propapaganda dan pembunuhan. Hal ini tidak hanya menimpa diri rosulullah, tetapi juga para sahabatnya. Kita tahu, kisah Bilal, keluarga Yasir (Yasir, Sumayah, Ammar bin Yasir), Abu Fakihah (budak Bani Abdid-Dar), Khabab bin Al-Art (budak Ummu Umar), dll. Daftar orang-orang yang disiksa karena mempertahankan agama Allah masih panjang. Bahkan Rosulullah dan para sahabat diboikot ekonomi selama tiga tahun, sehingga kekurangan pangan, kelaparan dan timbulnya penyakit. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi syahidah sebelum peristiwa hijrah Nabi. Oleh karenanya Hijrah adalah salah satu pertolongan Allah untuk mengembangkan dakwah, setelah berjuang dengan sekuat tenaga, dengan sepenuh jiwa dan segenap hartanya
4. Kecintaan Terhadap RosulullahPeristiwa hijrah memberikan tauladan bagi kita, betapa para sahabat lebih mencintai rosulullah dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ali bin Abi Tholib, menggantikan tempat tidur rosulullah ketika malam itu beliau berangkat Hijrah dan kita tahu konsekuensi apa yang akan ditanggung oleh sahabat Ali ra.. Sedangkan Abu Bakar, menyertai rosulullah dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah. Al Bukhori meriwayatkan dari Anas, dari Abu Bakar, dia berkata : “Aku bersama Nabi saw di dalam gua. Kudongakkan kepala, dan kulihat kaki beberapa orang. Aku berkata, ‘Wahai Nabi Allah, andaikata mereka melongokkan pandangannya, tentu mereka akan melihat kita. Nabi saw berkata “ apa pikiranmu wahai Abu Bakar tentang dua orang, sedang yang ketiga adalah Allah”. Kekhawatiran Abu Bakar bukan sekedar tertuju pada nasib dirinya, tetapi yang paling pokok adalah kekhawatiran terhadap nasib Rosulullah.
Dalam hal ini dia berkata “Jika aku terbunuh, maka aku hanyalah seorang manusia, namun jika engkau yang terbunuh, maka umat tentu akan binasa. (Siratir-Rosul, SyaikhAbdullah Annajdy).
BAGI MASYARAKAT DAN NEGARA
1. Mengoptimalkan peran MasjidLangkah pertama yang dilakukan rosulullah adalah membangun masjid. Masjid yang dibangun bukan sekedar sebagai tempat sholat semata, tetapi juga sebagai madrasah tempat transfer ilmu dan bimbingan, sebagai balai pertemuan, tempat memepersatukan berbagai kabilah, sebagai tempat mengatur segala urusan, dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.
2. Persaudaraan dan PersatuanBerkenaan dengan peristiwa hijrah, rosulullah juga berhasil mempersatukan suku Aus dan Suku Kahraj yang sebelumnya saling bermusuhan. Mereka dipersatukan dengan dasar aqidah islam. Rosulullah juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Persaudaraan ini semata-mata berdasarkan aqidah yang sama. Langkah ini untuk menegaskan, bahwa ikatan persatuan dan persaudaraan kaum muslimin haruslah berdasarkan aqidah, bukan berdasarkan kesukuan, kedaerahan, kemaslahatan, kebangsaan dan sebagainya yang bermuara pada ikatan kejahiliyahan.
Makna persaudaraan ini menurut Muahmmad Al-Ghazaly, agar fanatisme Jahiliyah menjadi cair dan tidak ada sesuatu yang dibela kecuali Islam. Disamping itu, agar perbedaan-perbedaan keturunan, warna kulit dan daerah tidak mendominasi, agar seseorang tidak merasa lebih unggul dan merasa lebih rendah kecuali karena ketaqwaanya.
Rosulullah saw menjadikan persaudaraan ini sebagai ikatan yang benar-benar harus dilaksanakan, bukan sekedar ucapan semata, lalu setelah itu hilang tak berbekas. Al-Bukhory meriwayatkan bahwa tatkala Muhajirin tiba di Madinah, maka Rosulullah saw mempersaudarakan antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’d bin Ar-Rabi’.
Sa’d berkata kepada Abdurrahman : ”Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya dikalangan Anshor. Ambillah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya habis, maka kawinilah ia”. Itulah gambaran indah, dari persaudaraan mereka. Ini menunjukkan kaum Anshor yang rela berkorban, mencintai, dan menyayangi saudaranya. Maka kaum Muhajirin tidak menerima dari saudaranya Anshor, kecuali sekedar makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya.
3. Masyarakat Jahiliyah Menjadi Masyarakat Islam.
Awal Rosulullah di Yastrib, Rosulullah memulai aktifitas membangun pilar-pilar masyarakat berdasarkan Islam. Pranata, tradisi, dan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat semua harus berdasarkan Islam. Sistem jahiliyah (sistem di luar islam) diganti, sehingga menjadi masyarakat Islam. Realitas kondisi masyarakat sekarang adalah sama dengan masyarakat jahiliyah. Semua aturan, pranata, tradisi dan perilaku tidak berdasarkan Islam. Oleh karena itu masyarakat sekarang perlu “berhijrah” untuk membuang jauh sistem jahiliyah menjadi sistem islam.
4. Tonggak berdirinya Negara Islam
Rosulullah segera menyusun Piagam Madinah sebagai konstitusi negara berlandaskan aqidah Islam, dan menjadikan hukum-hukum Allah sebagai hukum yang berlaku bagi masyarakat. Piagam ini diawali dengan kalimat “Bismillahirrahmaanirrahiim” yang mencerminkan piagam ini dibuat dalam konteks ketaqwaan kepada Allah swt. Dan pasal terakhir dari piagam ini berbunyi “Perkara apapun yang kalian perselisihkan, harus dikembalikan kepada Allah swt dan Muhammmad saw. Maka dengan hijrah Rosulullah dan para sahabatnya ke Madinah, dengan ditetapkannya Piagam Madinah, dengan diterapkannya hukum Islam dan Rosulullah saw sebagai pemimpin, maka peristiwa hijrah adalah awal ditegakkannya Negara Islam. Oleh karena itu kita harus yaqin dengan tegaknya kembali Kekuasaan Islam, sebagaimana firman Allah swtDan Allah telah berjanji kepada orang -orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh diantara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan orang-orang mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Sungguh-sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoiNya untuk mereka; dan sungguh-sungguh akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa (QS Annur, 55)
5. Tonggak Kebangkitan Dakwah
Setelah hijrah Rosulullah dari Makkah ke Madinah, perkembangan dakwah Islam begitu pesat. Sebagai gambaran, periode Makkah ibarat menarik tali busur ke belakang sebagai ancang-ancang , sedangkan periode Madinah bagaikan anak panah lepas dari tali busurnya. Dakwah Islam menyebar ke segala penjuru dan mereka berbondong-bondong masuk Islam dari berbagai wilayah. Inilah wujud dari janji Allah. Pada perkembangan selanjutnya Islam meliputi seluruh Jazirah Arab, termasuk Syam dan Yaman. Islam juga menyebar sampai Persia dan Romawi. Islam juga sampai Afrika dan Eropa, dan terakhir kekuasaan Islam menguasai dua pertiga wilayah dunia. Sungguh suatu pencapaian yang sangat menakjubkan
PENUTUP
Peristiwa hijrah Rosulullah memang telah berlalu selama 1428 tahun. Tetapi makna dan spirit hijrah harus tetap tertanam dalam hati dan jiwa kaum muslimin. Kaum muslimin harus ”berhijrah” dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah menuju kepada ketaatan kepada Allah swt, sebagaimana sabda Rosulullah saw:”Orang yang berhijrah adalah yang (meninggalkan) apa-apa yang dilarang oleh Allah swt. (HR Bukhori)
Tahun Baru Hijriah segera menjelang, akankah berlalu begitu saja?
Wallohu a’lam bi ashshowab

Di balik Hikmah Hijrah

MAKNA HIJRAH
Para pembaca mungkin sedikit banyak sudah mengetahui bagaimana proses hijrah Rasulullah saw bersama sahabatnya Abu Bakar ra. ke Madinah.

Semua kita tahu bahwa Rasulullah berhasil sampai di negri tujuan hijrah, Madinah Munawwarah. Kita juga tahu Rasulullah bersama para sahabat dan kaum muslimin berhasil membangun sebuah peradaban dan memiliki kekuasaan yang jangkauannya cukup luas. Kita sama-sama tahu di masa Rasulullah, Islam telah tersebar ke banyak negri. Tapi ada satu hal yang mungkin kita perlu cermati bersama.
Memang kemenangan dan keberhasilan tergantung pada pertolongan Allah. Tapi pertolongan Allah tidak turun begitu saja, sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah saw ketika berhijrah.
Rasulullah terlebih dahulu melakukan berbagai usaha. Rasulullah saw meminta Ali bin Abi Thalib ra. untuk tidur di peraduan beliau saw dan menggunakan selimut beliau.
Beliau saw juga sudah memperhitungkan bahwa musuhnya akan mengejar ke arah Madinah. Untuk itu ia dan sahabatnya Abu Bakar besembunyi di Gua Tsur yang letaknya berlawanan dengan arah Madinah. Rasulullah dan Abu Bakar tinggal di gua ini selama tiga hari.
Untuk menghilangkan jejak perjalanan Rasulullah dan Abu Bakar ra. ke Gua Tsur, mereka meminta Amir bin Fuhairah, mantan budak Abu Bakar untuk menggembalakan kambing di sekitar dan sepanjang jalan ke gua. Selain itu susu kambingnya dapat mereka ambil pula.
Selama tiga hari bersembunyi di gua, Rasulullah dan Abu Bakar tidak kekurangan makanan. Karena Asma, putri Abu Bakar senantiasa menyuplai makanan buat mereka.
Untuk mengetahui keadaan lawan, Rasulullah saw menyuruh Abdullah bin Abu Bakar menginap bersama mereka di gua. Sebelum matahari terbit, Abdullah sudah berada lagi di Mekkah. Sehingga Rasulullah dapat mengetahui rencana para kafir Quraisy yang terus mengejar dan ingin membunuhnya.
Setelah dirasa keadaan cukup aman, Rasulullah dan Abu Bakar meninggalkan gua Tsur dan meneruskan perjalanan ke arah selatan. Setelah melewati daerah pantai dan daerah sepi yang nyaris tak pernah dilewati orang, mereka berbalik ke arah utara menuju Madinah.
Berbagai upaya yang dilakukan Rasulullah ini, hanya merupakan usaha manusia semata yang dilakukan secara maksimal. Adapun mengenai keberhasilan dan kegagalan merupakan hak Allah yang menentukannya.
Buktinya, walaupun Ali bin Abu Thalib diminta Rasulullah menggantikan posisinya di tempat tidur beliau, tetap saja ada yang mengetahui bahwa Rasulullah telah tidak di rumahnya. Pada saat itulah pertolongan Allah turun. Allah menutup mata dan hati para kafir Quraisy yang mengepung rumah Rasulullah saw.
Meskipun sudah memperhitungkan secara matang, tetap saja para kafir Quraisy berhasil sampai di mulut Gua Tsur –tempat Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi-. Namun karena adanya kekuasaan Allah yang mampu menggetarkan hati orang-orang kafir. Mereka tidak melongok ke dalam gua. Kekuasaan Allah pulalah yang memerintahkan burung merpati untuk bertelur di pintu gua. Allah pulalah yang berperan dengan memerintahkan laba-laba untuk merangkai sarangnya menutupi pintu gua.
Rasulullah dan Abu Bakar sudah memilih jalan yang aman menuju Madinah, tetap saja Suraqah bin Naufal mampu menemukan mereka. Lagi-lagi hanya karena pertolongan Allah yang menyebabkan kaki kuda Suraqah terperosok sehingga menyebabkan tak sanggup menangkap dan membunuh Rasulullah saw.
Begitulah perjuangan. Ia tak hanya cukup dengan kerja keras dan usaha maksimal, tapi juga memerlukan bantuan dari Allah. Sebaliknya, bantuan dari Allah tak bisa turun begitu saja. Ia memerlukan usaha yang maksimal. Dua faktor ini ibarat mata keping uang yang tak bisa dipisahkan.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad (47):7)

Sunday, December 6, 2009

SUMANTO - ABU IHSAN: Membangun Kekuatan Spiritual

Silahkan anda link ke sini

Membangun Kekuatan Spiritual

MEMBANGUNKAN KEKUATAN SPIRITUAL

Spritualiti dalam diri seseorang Muslim adalah perasaan tunduk dan tawadhuk kepada Allah Sang Pencipta; pada kekuasaan dan ilmuNya yang muncul lantaran kesedarannya terhadap hubungannya dengan Nya.

Spiritualiti yang meningkat akan menjadikan seorang muslim sentiasa hidup dalam suasana iman.Dia pun akan semakin tegas dan istiqomah dalm sikap dan langkah hidupnya.Dia akan semakin terikat dengan syariat Allah swt dengan perasaan redha dan tenteram.Perasaan redha dan tenteram dengan syariat Allah swt, itu akan menjadikannya kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup.

Dikisahkan bahawa ketika mendengar khabar tentang kedatangan pasukan Quraisy yang jumlahnya cukup besar sedang menuju di Badar dengan memberikan pukulan yang mematikan terhadap Muhammad dan kawan-kawannya, Rasulullah saw sebagai kepala Negara sekaligus panglima perang, bermusyawarah dengan para sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Rasulullah saw bersabda kepada mereka, “Makkah telah melontarkan bahagian besar kekuatannya.”

Rasulullah pun bersabda, “Bagaimana pendapat kalian?”

Saad bin Muadz ra salah seorang pemimpin Ashar mengatakan, “ Kami bukanlah orang-orang Yahudi yang mengatakan kepada Musa, ‘ Pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sementara kami tinggal di sini! ’ Namun kami adalah orang yang mengatakan, ‘Pergilah Anda bersama Tuhan Anda berperang dan kami akan berangkat menyertai anda berdua…!’ Oleh itu, sekalipun engkau berjalan memerangi musuh ke Barkul Ghumud (suatu daerah di Yaman) , pasti kami akan menyertaimu, wahai Rasulullah !”

Rasulullah saw pun gembira dengan pernyataan yang menunjukkan keberanian dan semanagat tempur yang tinggi. Dalam pertempuran itu kaum muslim menang dan berhasil membunuh 70 orang Quraisy termasuk tokoh-tokohnya seperti Abu Jahal, Umayyah, Utbah, dan Syaibah bin Rabiah, serta menawan 70 lainnya. (lihat : Ibnu Katsir, Al BIdayah wa an-Nihayah, 3/14-15)

Itulah kekuatan yang muncul lantaran kesedaran akan hubungan dengan Allah swt. Hal ini juga tampak pada kesungguhan kaum muslim di dalam Perang Mu’tah yang jumlahnya cuma 3000 orang ketika bertempur melawan 200 000 pasukan Romawi dan gabungan pasukan Arab di daerah Utara.Tiga orang Panglima yang diutus Rasulullah saw pada saat itu , Jenderal Zaid bin Haritsah, Jenderal Ja’far bin Abi Talib, dan Jenderal Abdullah bin Rawahah gugur sebagai syuhada setelah bertempur dengan kekuatan yang luar biasa . Salah seorang di antara ketiga panglima itu, Jenderal Abdullah bin Rawahah memberikan dorongan yang menghasilkan kekuatan Spiritual yang sungguh luar biasa. Sebab sebelumnya terjadi musyawarah untuk mengambil langkah yang tepat , mengingat kekuatan yang dihadapi kaum muslim sangat besar sekali. Abdullah bin Rawahah mengharapkan agar pasukan tidak berundur dan meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah. Dia berkata, “Wahai kaum muslim, sesungguhnya yang paling kami sukai pada saat kalian keluar(dari benteng/kota Madinah untuk berjihad) adalah kalian mencari syahadah (mati syahid), kita tidak memerangi manusia dengan jumlah personal, juga tidak memerangi mereka dengan kekuatan dan banyaknya pasukan yang kita miliki, kita tidak memerangi mereka melainkan denagn agama yang dengannya Allah telah memuliakan kita. Kerana itu , berangkatlah . Sesungguhnya hasil dari perang ini hanyalah satu diantara kebaiakn : Menang atau mati syahid !” ( Lihat : Ibnu Katsir, Al bidayah wa an Nihayah, III/428)

Spiritualiti seorang Muslim menghasilkan rasa takut kepada Allah ( khasyiatullah). Rasa takut kepada Allah swt, itu menjadikannya memiliki kekuatan dan ketegaran yang luar biasa. Ketika kaum muslim dikepung dalam Perang Ahzab, orang-orang munafik cuba menakut-nakuti mereka. Namun, kaum Muslim tidak gentar sama sekali.

Para ulama yang benar-benar konsisten dengan ilmu yang mereka miliki adalah orang yang takut kepada Allah. Khasyitullah yang mereka miliki itu membuat mereka memiliki kekuatan spiritual sehingga berani dan merasa ringan menyampaikan nasihat kebenaran kepada para penguasa.

Suatu ketika salah seorang murid seorang ulama besar Al-Izz bin Abdus Salam bertanya kepada gurunya tatkala gurunya menasihati seorang penguasa, “ Wahai guru, apakah Anda tidak takut kepadanya?” Al-Izz menjawab, “Demi Allah, wahai anakku, sungguh aku telah menghadirkan kewibawaan Allah swt, dalam diriku sehingga penguasa(sultan) itu dihadapanku seperti seekor kucing.” (Lihat: Fauzi Sanqarith, Taqarrub ila Allah)

Kekuatan spiritual bukanlah mistik atau kesaktian yang muncul kerana membaca zikir-zikir tertentu. Bukan itu, kekuatan itu muncul lantaran keyakinan akan takdir allah, keyakinan akan ajal, sikap tawakal yang benar, dan keyakinan bahwa Allah swt pasti akan menolong orang-orang Mukmin ( Lihat : QS Ar Rum : 47)

Keyakinan akan mendapatkan pertolongan dan perlindungan Allah swt akan tertanam dalam diri seorang muslim manakala dia dekat denganNya. Bagaimana caranya?

Dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah telah berfirman :

Siapa yang memusuhi Kekasihku (waliku) maka Aku akan menyatakan perang kepadanya.Tidaklah mendekat kepadaKu seorang hambaKu dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada dia menjalankan kewajipan yang telah Kufardhukan .Tidak henti-hentinya seorang hambaKu mendekat kepadaKu dengan melakukan amalan-amalan sunnah hingga Aku menyukainya . Bila Aku telah suka kepadanya, maka Akulah yang akan menjadi pendengarannya, penglihatannya dan tangannya yang digunakan , dan menjadi kaki yang dijalankannya.Apabila dia memohon kepadaKu pasti Kukabulkan, dan jika dia berlindung kepadaKu pasti Kulindungi.
(HR Al Bukhari.Lihat : Imam An Nawawi, Riyadh Ash Shalihin Bab Mujahadah)

Kalau kesedaran spiritual kaum Muslim telah mencapai taraf itu, InsyaAllah kaum Muslim memiliki kekuatan tiada tandingan.

Saturday, December 5, 2009

Character Building in Islam

Character Building in Islam


Ethics, Morality and Character: Moral System in Islam
By III&E

Islam has laid down some universal fundamental rights for humanity as a whole, which are to be observed and respected under all circumstances. To achieve these rights, Islam provides not only legal safeguards, but also a very effective moral system. Thus, whatever leads to the welfare of the individual or the society is morally good in Islam and whatever is injurious is morally bad. Islam attaches so much importance to the love of God and love of man that it warns against too much formalism. We read in the Qur'an:

It is not righteousness that you turn your faces towards the East or West; but it is righteousness to believe in God and the Last Day and the Angels, and the Book, and the Messengers; to spend of your substance, out of love for Him, for your kin, for orphans, for the needy, for the wayfarer, for those who ask, and for the freeing of captives; to be steadfast in prayers, and practice regular charity; to fulfil the contracts which you made; and to be firm and patient in pain and adversity and throughout all periods of panic. Such are the people of truth, the God-conscious. (2:177)

We are given a beautiful description of the righteous and God-conscious man in these verses. He should obey salutary regulations, but he should fix his gaze on the love of God and the love of his fellow-men.

We are given four directions:

a) Our faith should be true and sincere,

b) We must be prepared to show it in deeds of charity to our fellow-men,

c) We must be good citizens, supporting social organizations, and

d) Our own individual soul must be firm and unshaken in all circumstances.

This is the standard by which a particular mode of conduct is judged and classified as good or bad. This standard of dudgement provides the nucleus around which the whole moral conduct should revolve. Before laying down any moral injunctions, Islam seeks to firmly implant in man's heart the conviction that his dealings are with God, who sees him at all times and in all places; that he may hide himself form the whole world, but not from Him; that he may deceive everyone but cannot deceive God; that he can flee from the clutches of anyone else, but not from God's.

Thus, by setting god's pleasure as the objective of man's life, Islam has furnished the highest possible standard of morality. This is bound to provide limitless avenues for the moral evolution of humanity. By making Divine revelations as the primary source of knowledge, it gives permanence and stability to the moral standards which afford reasonable scope for genuine adjustments, adaptations and innovations though not for perversions, wild variation, atomistic relativism or moral fluidity. It provides a sanction to morality in the love and fear of God, which will impel man to obey the moral law even without any external pressure. Though belief in God and the Day of Judgement, it furnishes a force which enables a person to adopt the moral conduct with earnestness and sincerity, with all the devotion of heart and soul.

It does not, through a false sense of originality and innovation, provide any novel moral virtues, nor does it seek to minimize the importance of the will-know moral norms, nor does it give exaggerated importance to some and neglect others without cause. It takes up all the commonly known moral virtues and with a sense of balance and proportion it assigns a suitable place and function to each one of them in the total scheme of life. It widens the scope of man's individual and collective life - his domestic associations, his civic conduct, and his activities in the political, economic, legal, educational, and social realms. It covers his life from home to society, from the dining-table to the battle-field and peace conferences, literally from the cradle to the grave. In short, no sphere of life is exempt from the universal and comprehensive application of the moral principles of Islam. It makes morality reigh supreme and ensures that the affairs of life, instead of dominated by selfish desires and petty interests, should be regulated by norms of morality.

It stipulates for man a system of life that is based on all good and is free from all evil. It encourages the people, not only to practice virtue, but also to establish virtue and eradicate vice, to bid good and to forbid wring. It wants that their verdict of conscience should prevail and virtue must be subdued to play second fiddle to evil. Those who not respond to this call are gathered together into a community and given the name Muslim. And the singular object underlying the formation of this community (Ummah) is that it should make an organized effort to establish and enforce goodness and suppress and eradicate evil.

Here we furnish some basic moral teachings of Islam for various aspects of a Muslim's life. They cover the broad spectrum of personal moral conduct of a Muslim as well as his social responsibilities.

God-Consciousness

The Qur'an mentions this as the highest quality of a Muslim:

The most honorable among you in the sight of God is the one who is most God-conscious. (49:13)

Humility, modesty, control of passions and desires, truthfulness, integrity, patience, steadfastness, and fulfilling one's promises are moral values that are emphasized again and again in the Qur'an:

And God loves those who are firm and steadfast. (3:146)

And vie with one another to attain to your Sustainer's forgiveness and to a Paradise as vast as the heavens and the earth, which awaits the God-conscious, who spend for charity in time of plenty and in time of hardship, and restrain their anger, and pardon their fellow men, for God loves those who do good. (3:133-134)

Establish regular prayer, enjoin what is just, and forbid what is wrong; and bear patiently whatever may befall you; for this is true constancy. And do not swell your cheek (with pride) at men, nor walk in insolence on the earth, for God does not love any man proud and boastful. And be moderate in your pace and lower your voice; for the harshest of sounds, indeed, is the braying of the ass. (31:18-19)

In a way which summarizes the moral behavior of a Muslim, the Prophet (PBUH) said:

My Sustainer has given me nine commands: to remain conscious of God, whether in private or public; to speak justly, whether angry or pleased; to show moderation both when poor and when rich; to reunite friendship with those who have broken off with me; to give to him who refuses me; that my silence should be occupied with thought; that my looking should be an admonition; and that I should command what is right.

Social Responsibility

The teachings of Islam concerning social responsibilities are based on kindness and consideration of others. Since a broad injunction to be kind is likely to be ignored in specific situations, Islam lays emphasis on specific acts of kindness and defines the responsibilities and rights within various relationships. In a widening circle of relationship, then, our first obligation is to our immediate family - parents, spouse, and children - and then to other relatives, neighbors, friends and acquaintances, orphans and widows, the needy of the community, our fellow Muslims, all fellow human beings, and animals.

Parents

Respect and care for parents is very much stressed in the Islamic teaching and is a very important part of a Muslim's expression of faith.

Your Sustainer has decreed that you worship none but Him, and that you be kind to your parents. whether one or both of them attain old age in your life time, do not say to them a word of contempt nor repel them, but address them in terms of honor. And, out of kindness, lower to them the wing of humility and say: My Sustainer! Bestow on them Your mercy, even as they cherished me in childhood. (17:23-24)

Other Relatives

And render to the relatives their due rights, as (also) to those in need, and to the traveler; and do not squander your wealth in the manner of a spendthrift.

Neighbors

The Prophet (PBUH) has said:

He is not a believer who eats his fill when his neighbor beside him is hungry.

He does not believe whose neighbors are not safe from his injurious conduct.

Actually, according to the Qur'an and Sunnah, a Muslim has to discharge his moral responsibility not only to his parents, relatives and neighbors, but to the entire mankind, animals and trees and plants. For example, hunting of birds and animals for the sake of game is not permitted. Similarly, cutting down trees and plants which yield fruit is forbidden unless there is a pressing need for it.

Thus, on the basic moral characteristics, Islam builds a higher system of morality by virtue of which mankind can realize its greatest potential. Islam purifies the soul from self-seeking egotism, tyranny, wantonness and indiscipline. It creates God-conscious men, devoted to their ideals, possessed of piety, abstinence, discipline and uncompromising with falsehood. It induces feelings of moral responsibility and fosters the capacity for self-control. Islam generates kindness, generosity, mercy, sympathy, peace, disinterested goodwill, scrupulous fairness and truthfulness towards all creation in all situations. It nourishes noble qualities from which only good may be expected

Tuesday, December 1, 2009


குஞ்சுங்கன் கேர்ச கே இஸ்லாமிக் இன்டர்நேஷனல் ஸ்கூல் Singaoure