Ahlan wa Sahlan

" Selamat Datang di Blog Manto Abu Ihsan,...Silahkan kunjungi juga ke www.mantoakg.alazka.org

Manto Abu Ihsan " Hadir untuk perubahan"

Manto Abu Ihsan " Hadir untuk perubahan"
H.Sumanto, M.Pd : " Siap membantu dalam kegiatan Motivation Building, Spiritual Power, Get Big Spirit and Character Building."

Monday, May 24, 2010

QONA'AH

SALAH satu sebab yang membuat hidup ini tidak tentram adalah terpedayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang terpedaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pemberi rezeki.

Orang-orang yang cinta dunia akan selalu terdorong untuk berburu segala keinginannya, meski harus menggunakan segala cara: licik, bohong, mengurangi timbangan atau sukatan, dan sebagainya. Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian.

"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: 'Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku'. Sebenarnya itu adalah ujian, tapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui" (QS. Az-Zumar (39):49).

Ayat tersebut mengindikasikan adanya orang-orang yang tidak tepat dalam menyikapi harta dan dunia yang diberikan kepadanya. Ia menyangka, ketentraman hidupnya ditentukan oleh banyak-tidaknya harta yang ia miliki, besar-kecilnya tempat tinggal, tinggi-rendahnya kedudukan dan pangkat yang disandangnya.

Ketentraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia, sekecil dan sebesar apa pun harta yang dimilikinya. Sikap demikian dikenal dengan sebutan qanaah, yang berarti merasakan kecukupan dan kepuasan atas harta dan dunia miliknya.

Orang yang qanaah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan garam akan terasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging yang tiada di hadapannya. Makan dengan sayur lodeh atau daging akan sangat disyukurinya. Ia pun akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya, karena ia ingat pada orang-orang yang hanya bisa makan dengan garam saja.

Bukan Fatalis

Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qanaah tidak berarti fatalis menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang qanaah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, bahkan memiliki banyak sekali perusahaan, namun semua itu bukan untuk menumpuk kekayaan.

Kekayaan dan dunia yang dimilikinya ia sikapi dengan rambu-rambu Allah SWT, sehingga apa pun yang dimilikinya tidak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Mahapemberi rezeki.

Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qanaah menyikapinya sebagai sebuah ibadah yang mulia di hadapan Allah Yang Mahakuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, mengurangi timbangan, atau sukatan.

Ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun ia tetap akan mendapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari, posisi rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi dari tiga hal.

Pertama, rezeki yang ia makan hanya akan menjadi kotoran. Kedua, rezeki yang ia pakai hanya akan menjadi benda usang. Ketiga, rezeki yang ia nafkahkan akan bernilai di hadapan Allah. Karenanya, ia pun lebih dahulu mementingkan seruan Rabbnya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kamu sekalian untuk melakukan shalat di Hari Jumuah, bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu sekalian mengetahuinya" (QS. Al-Jumu'ah:9)

Tetapi jika ia telah sampai pada keadaan itu, ia juga tidak lantas terjebak dengan kenikmatan berkhalwat dengan Allah, karena ia menyadari, masih ada aturan Allah yang mewajibkannya untuk beraktivitas kembali.

"Dan apabila telah selesai melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu sekalian beruntung" (QS. Al-Jumu'ah [62]:10).

Niat yang terlahir dari hati orang-orang yang qanaah ketika melakukan aktivitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan kekayaan untuk ia nikmati sendirian, namun benar-benar didasarkan pada ibadah.
Orang-orang qanaah akan mencari harta dan dunia untuk membekali dirinya agar lebih kuat dalam beribadah. Ia akan berpikir, bukankah Allah lebih mencintai mukmin yang kuat dibanding mukmin yang lemah?

Pencarian harta dan dunia yang dilakukannya juga dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak terjatuh pada jurang kefakiran, menyantuni orang lain, dan agar tidak membebani orang lain ketika Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya. Ia akan terus teringat, kefakiran dapat mendekatkan diri pada kekufuran.

Niat orang-orang qanaah ketika mencari harta juga didasarkan pada keharusannya menguasai ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah merasa sayang dengan harta dan dunia sepanjang ia menggunakannya untuk makin bertambahnya ilmu pengetahuan. Ia yakin, hanya dengan memiliki ilmulah ia dan keluarganya akan merasa tentram dalam beribadah dan bermuamalah. Insya Allah.

Kisah seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Catatanku:
Ini kisah nyata salah seorang teman seangkatanku di STAN. Thumbs up for him!!!
Kalau baca mesti sampai selesai. Dijamin Anda akan meneteskan air mata.
Aku kagum sama istrinya, ketika ia tidak membuka sama sekali amplop pemberian teman suaminya.... selama dua tahun!!! Padahal sang suami menganggap bahwa tidak ada apa-apa atas 'hadiah' dari sohib suaminya itu.... Betapa sakit hatinya Anda, ketika Anda punya 'trusted friends' tiba-tiba terkuak kalau doi 'betray you'.
Selamat membaca..... ...

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalang kabut akibat prinsip hidup [anti] korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.
Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan . Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya.

Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.

Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.

Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti inI seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain.

Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.

Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik. Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi?” Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kecuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur.

Ia lalu mengatakan, Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai, katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian! Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas.

Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun. Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahua'lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah.

Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, kenapa tidak bilang-bilang? ? Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda.. Uang setan ya dimakan hantu! Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu. Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum'at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum’atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah.

Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.

Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca)