Ahlan wa Sahlan

" Selamat Datang di Blog Manto Abu Ihsan,...Silahkan kunjungi juga ke www.mantoakg.alazka.org

Manto Abu Ihsan " Hadir untuk perubahan"

Manto Abu Ihsan " Hadir untuk perubahan"
H.Sumanto, M.Pd : " Siap membantu dalam kegiatan Motivation Building, Spiritual Power, Get Big Spirit and Character Building."

Tuesday, November 30, 2010

BAHAYA RIYA

Riya berasal dari kata ru’yah (penglihatan) sebagaimana sum’ah berasal dari kata sam’u (pendengaran) dari sekedar makna bahasa ini bisa difahami bahwa riya adalah ingin diperhatikan atau dilihat orang lain. Dan para ulama mendefiniskan riya adalah menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka.
Dari definisi tersebut jelas bahwa dasar perbuatan riya’ adalah untuk mencari keredhoan, penghargaan, pujian, kedukan atau posisi di hati manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya.
Lebih jauh, Nabi Muhammad menyamakan amal dengan ria itu dengan syirik. Kata Nabi, Sesuatu yang paling aku takuti terjadi padamu sekalian adalah penyakit syirik kecil. Para sahabat bertanya, Apa itu syirki kecil? Nabi menjawab, Itulah ria.
Sering keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan perasaan seseorang dikarenakan begitu halusnya sehingga ada yang mengibaratkan bahwa ia lebih halus daripada seekor semut hitam diatas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita. Padahal keberadaan riya dalam suatu amal amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal tersebut.
Ada empat ciri orang yang (beramal) riya: malas beramal jika bersendirian, bersemangat beramal bila di depan orang, bertambah amalnya jika dipuji dan menguranginya jika dicela ( Saidina Ali bin Abi Talib).
Bahaya Riya
Ada beberapa penjelasan tentang bahaya riya’, dan pengaruh buruk (dampak negatifnya) bagi individu, umat dan amal perbuatan, seperti yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Berikut ini perinciannya :
Rasulullah S.A.W menjelaskan bahwa bahaya riya’ memiliki tingkatan yang bermacam macam, dan diungkapkan dengan ungkapan yang bermacam, diantaranya :
a. Bagi orang orang Muslim, riya’ lebih bahaya dari fitnah Al Masih Ad Dajjal
Bahaya Masih Ad Dajjal tidak melanda orang yang akrab dengan Sunnah Rasulullah S.A.W. Oleh karenanya riya’ lebih besar bahaya bagi seorang Muslim.
Nabi S.A.W bersabda,
“Maukah kamu aku beritakan kabar yang bagiku lebih berbahaya bagi kalian dibanding dengan Al Masih Ad Dajjal; yaitu syirik Al Khafi. Yaitu ketika seseorang berdiri untuk menunaikan shalat, kemudian ia memperindah shalatnya karena ada orang lain yang melihatnya” (Hadits riwayat Ibnu Majjah (4204) dan perawi lainnya dari hadits Abi Said Al Khudari R.A. Hadits ini berkualitas hasan).
b. Riya’ lebih besar bahayanya dari serigala yang mengintai kambing.
Nabi S.A.W bersabda,
“Dua ekor serigala lapar yang dilepaskan di tengah kerumunan kambing, bahayanya tidak lebih besar dari kerakusan manusia terhadap harta, membanggakan agamanya (riya’) (Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 2376, Imam Ahmad (3/456, 460), Imam Ad Darami 2/304, Imam Al Baghawi dalam Syarh sunnah 14/258, dan para perawi lainnya. Saya katakana, hadits ini dishahihkan oleh Imam At Tirmidzi. Ini seperti yang pernah dikatakan. Meskipun Zakariya Abu Zaidah seorang yang mudallas, tetapi ini telah dijelaskan dengan pembicaraan Bukhari dalam kitab Tarikh Al Kabir 1/150).
Ini adalah perumpamaan (analogi) yang dibuat Rasulullah S.A.W mengenai kerusakan agama seseorang karena menjaga harta dan kemuliaan duniawi. Dua hal inilah yang menggerakkan dan memotori sikap riya’ pada jiwa seseorang. Berbeda dengan kerusakan pada kambing karena adanya dua ekor serigala yang lapar yang mau menerkam kambing. Penjagaannya (kekhawatiran dari) akan hilang ketika malam datang. Kedua serigala tersebut makan dan mengambil apa yang menguntungkan baginya. Keburukan yang dimunculkannya hanya sedikit. Bahkan sangat sedikit, tidak seperti riya’. Maka hindarilah riya’.
Bahaya Riya’ bagi Amal Perbuatan
a. Menyia nyiakan amal shalih, dari pengaruh baiknnya dan tujuan luhurnya
Islam bukanlah agama yang menampakkan hal hal luar dan seremonial, karena menampakkan ibadah dan syi’ar itu tidak mencukupi selama tidak bersumber dari keikhlasan karena Allah semata. Ikhlas sangat berpengaruh dalam lubuk hati, mendorong untuk melakukan amal shalih, menerapkan sebuah metode yang dapat memperbaiki kehidupan manusia di dunia ini.
Ketika iman telah kokoh tertanam dalam hati, maka ia akan bergerak cepat agar zat iman itu terealisasi dalam bentuk amal shalih.
Oleh karena hakikat pendidikan yang penting ini, Allah mengisyaratkan dalam firmanNya,
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al Insaan : 8-9)
Sesungguhnya orang yang ikhlas adalah ibarat oase, yang meneduhi riya’ yang merusak. Orang ikhlas akan makan makanan dengan ketenangan jiwa, hati yang penuh kasih, niat yang ikhlas dan semata mata karena Allah. Ini dinampakkan dalam tingkah laku dan ucapan hatinya.
Petunjuk (isyarah) dari Al Qur’an ini akan menghancurkan kekerasan riya’ yang menebarkan bau busuk pada hati pemiliknya, dan tidak akan membuka sesuatu kelemahan, meskipun pemiliknya menyerahkan sesuatu dengan segala kebanggaan. Adapun di jalan Allah, mereka akan melarang meskipun untuk hal yang sangat remeh, dan tidak mendatangi manusia karena menjadi pengikat.
Allah S.W.T berfirman,
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna” (Al Maa’uun : 4-7)
Orang orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna karena shalat mereka tidak menampakkan pengaruh positif pada diri mereka. Mereka menghalang pertolongan dan kebaikan dari hamba Allah. Apabila mereka menunaikan shalat semata mata karena Allah, pasti mereka tidak sungkan dan segan memberi pertolongan kepada hamba hambaNya yang membutuhkan.
Ini adalah parameter sesungguhnya untuk ibadah yang benar yang diterima di sisi Allah.
Mereka hanya melakukan gerakan gerakan dan ritual shalat semata. Mereka memperbagus dan memperindah shalatnya karena ada orang lain yang melihatnnya. Akan tetapi hati mereka tidak ikhlas dan tulus melakukannya, dan tidak menghadirkan hakikat dari shalat. Tidak merasakan keagungan Allah yang ada di depannya. Oleh karenanya dalam hati dan perbuatannya, sedikitpun tidak tertinggal pengaruh shalat.
Ini adalah riya’, yang meninggalkan amal perbuatan yang baik, dengan mengubahnya menjadi amal yang tidak baik.
b. Membatalkan amal shalih dan meleburnya
Allah S.W.T berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Al Baqarah : 264)
Ini adalah hati yang keras yang telah diselimuti riya’. Perumpamaannya seperti safwan diselimuti debu-debu (Safwan adalah batu yang tidak kasar dan tidak terlalu licin permukaannya yang ditutupi oleh debu yang halus). Demikian pula riya’ menghalangi pandangan mata yang dapat menipu, seperti riya’ menghalangi kekerasan hati yang tidak memiliki iman. Kemudian hujan lebat yang menghilangkan debu debu tersebut, dan terbukalah auratnya serta tersingkaplah kegersangan dan kekerasannya. Tumbuhan pun tidak akan tumbuh, apalagi berbuah. Karena ia merupakan batu keras yang tergeletak di atas tanah. Ia tidak memiliki ketetapan. Seperti orang riya’ tidak akan membuahkan kebaikan. Tidak akan diringi dengan ganjaran bahkan mendatangkan dosa besar yang menunggu kejelekan yang berubah pada hari dimana harta dan anak tidak akan bermanfaat sama sekali kecuali orang yang dating kepada Allah dengan hati yang pasrah.
Ini adalah puncak dari riya’, yang akan melebur amal yang baik, pada saat pemiliknya tidak memiliki kekuatan dan penolong, dan karenanya ia tidak dapat menolak. Renungkanlah firman Allah S.W.T berikut,
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya” (Al Baqarah : 266).
Amal shalih ini pada mulanya adalah oase dan lampu yang menerangi kegelapan, surga yang indah yang memilikii aroma dan keteduhan, kebaikan dan keberkahan, zakat dan pembersihan. Orang yang menginginkan mendapatkan surga surga ini, kemudian melakukan riya’, maka riya’ itu meleburnya seolah olah sebelumnya tidak pernah ada.
Nabi S.A.W bersabda,
“Sesungguhnya hal yang sangat aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik al ashar (syirik kecil), yaitu riya’. Pada hari Kiamat Allah berfirman ketika membalas amal amal perbuatan manusia,’Pergilah kalian kepada orang orang yang kalian pamerkan sewaktu di dunia. Lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan (bagian) dari mereka’.” (Hadits riwayat Imam Ahmad 5/428, Imam Baghawi dalam Syarh Sunnah 4135, dari hadits Mahmud bin Lubeid R.A, dnegan isnad shahih, sesuai syarat Imam Muslim.)
Pada waktu itu, orang orang yang riya’ kemudian membalikkan tangannya dengan sesuatu yang telah dinafkahkannya kepada manusia dengan riya’. Lalu Allah memperlihatkan amal amalnya sebagai kerugian.
Wahai saudara seiman, hindarilah riya’ karena ia akan menghancurkan amal perbuatan.
Bahaya Riya’ bagi Umat dan Individu
a. Riya’ adalah syirik khafi.
Nabi S.A.W bersabda,
“Maukah kamu aku beritakan kabar yang bagiku lebih berbahaya bagi kalian dibanding dengan Al Masih Ad Dajjal; yaitu syirik Al Khafi. Yaitu ketika seseorang berdiri untuk menunaikan shalat, kemudian ia memperindah shalatnya karena ada orang lain yang melihatnya” (Hadits riwayat Ibnu Majjah (4204) dan perawi lainnya dari hadits Abi Said Al Khudari R.A. Hadits ini berkualitas hasan).
b. Riya’ mewariskan kehinaan dan kekerdilan.
Wahai hamba yang ikhlas, janganlah kamu terbujuk oleh tipu daya orang yang riya’ di suatu Negara, kemampuan mereka menguasai hamba, banyaknya kendaraan mereka dan kemewahan kendaraan mereka, karena bayang bayang maksiat ada diatas tengkuk mereka. Allah menolak, kecuali orang orang yangmelindungi orang orang yang durhaka kepadaNya.
Nabi S.A.W bersabda,
“Barangsiapa yang memperdengarkan amalnya kepada manusia, maka Allah akan memperdengarkan pendengaran makhluknya kepadanya, mengerdilkan dan merendahkannya” (Shahih Targhib wa Al targhib (1/6)
c. Riya’ menghalangi pahala akhirat.
Nabi S.A.W bersabda,
“Gembirakanlah umat ini dengan kemuliaan, agama, keunggulan dan kekuatan di bumi. Barang siapa diantara mereka yang melakukan amal perbuatan amal perbuatan akhirat karena tujuan duniawi, maka di akhirat kelak ia tidak akan mendapatkan bagiannya” (Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/134, Imam Al Hakim 3/318 dan perawi lain dari jalur Abi Al ‘Aliyah dari Abi bin Ka’ab R.A. “Saya katakana, ini hadits shahih”).
d. Riya’ menambah kesesatan.
Allah S.W.T berfirman,
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit[23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al Baqarah : 9-10)
e. Riya’ menyebabkan kehancuran umat.
Nabi S.A.W bersabda,
“Allah akan menolong umat ini karena adanya orang orang yang lemah dengan doa dan shalat serta keikhlasan mereka.” (Shahih Al Targhib wa Al Targhib, 1/6)
Demikian pula Rasulullah S.A.W menetapkan bahwa keikhlasan karena Allah merupakan sebab kemenangan umat dari musuh musuh Islam. Tanpa ikhlas, maka itu riya’ dan nifak mungkin dapat dimanfaatkan oleh musuh musuh umat ini.
Hai orang orang Islam ! Sesungguhnya pelajaran Peperangan Badar Kubra selalu akan tersimpan di dalam hati orang yang ikhlas yang mau menunggu, selama mereka tidak mengubahnya.
Firman Allah dalam Al Qur’an,
“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya[620] agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.” (Al Anfaal : 45-47).
Ayat ini bertujuan untuk menjaga golongan orang orang beriman yang tidak henti hentinya memerangi musuh musuh Allah, dengan cara keluar berperang dengan kesombongan dan keangkuhan. Karena orang beriman tidak akan keluar berperang kecuali untuk menegakkan kalimat Allah.
Al Qurthubi mengatakan bahwa makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakekat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati manusia. (al jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XX hal 439)
Dari Abu Hurairoh bahwa telah berkata seorang penduduk Syam yang bernama Natil kepadanya,”Wahai Syeikh ceritakan kepada kami suatu hadits yang engkau dengar dari Rasulullah saw.’ Abu Hurairoh menjawab,’Baiklah. Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda,’Sesungguhnya orang yang pertama kali didatangkan pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid dan dia diberitahukan berbagai kenikmatannya sehingga ia pun mengetahuinya. Kemudian orang itu ditanya,’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah berperang dijalan-Mu sehingga aku mati syahid.’ Dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong, sesungguhnya engkau berperang agar engkau dikatakan seorang pemberani dan (gelar) itu pun sudah engkau dapatkan.’
Kemudian Allah memerintahkan agar wajah orang itu diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang pembaca Al Qur’an dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah mempelajari ilmu dan mengajarinya dan aku membaca Al Qur’an karena Engkau.’
Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan seorang yang alim dan engkau membaca Al Qur’an agar engkau dikatakan seorang pembaca Al Qur’an dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian Allah memrintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang yang Allah berikan kepadanya kelapangan (harta) dan dia menginfakkan seluruh hartanya itu dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’
Orang itu menjawab,’Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau sukai untuk berinfak didalamnya kecuali aku telah menginfakkan didalamnya karena Engkau.’ Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau melakukan hal itu agar engkau disebut sebagai seorang dermawan dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian orang itu diperintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim)
Riya ini bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghozali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai dan tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya.
Namun apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’ (Ihya Ulumudin juz III hal 324)
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ itu muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya lagi. (A Mukhtashar Minhajil Qishidin hal 209)
Sungguh suatu karunia yang besar ketika Allah memberikan kemudahan kepada anda untuk senantiasa melakukan sholat berjama’ah di musholla di saat orang-orang tengah asyik dengan tidurnya. Namun demikian anda perlu berhati-hati karena pada kondisi-kondisi seperti inilah terkadang setan mudah menghembuskan bisikan-bisikannya agar anda berbuat riya’.
Sedangkan keinginan anda untuk mengajak masyarakat di sekitar anda agar mengerjakan sholat shubuh berjama’ah di musholla melalui lisan seorang ustadz adalah perbuatan yang terpuji dikarenakan sholat shubuh di masjid atau musholla merupakan perintah yang sangat dianjurkan Allah swt kepada setiap muslim.
Bentuk keluar dengan sombong dan riya’ kepada manusia dan berpaling dari jalan Allah akan selalu hadir di depan pasukan orang beriman. Mereka melihat dengan mata kepala mereka keluarnya orang Quraisy pada hari Pertempuran Badar dengan kendaraan perangnya, jumlah pasukannya, baik yang berjalan maupun yang menunggang kuda, untuk mengulang kembali kemenangan Pertempuran Badar, di dengar oleh orang Arab dan selalu terus diperhitungkan. Akan tetapi riya’ ini cepat berakhir, berakibat buruk, dan cita citanya juga buruk. Riya’ menjadi suatu pungkasan. Orang orang musyrik telah menunjukkan riya’ dan keangkuhan.
Demikian pula mereka melihatnya pada saat yang berbahagia, ketika umat ini keluar untuk berperang. Akibatnya adalah kerugian dan kehinaan yang tidak akan dicabut oleh Allah sehingga ia bertaubat kepada Tuhan dan agamanya. Ketika itu orang orang Mukmin yang ikhlas sangat gembira dengan pertolongan Allah. Bukankah pertlolongan Allah itu dekat.
Namun, adapun kalanya kita perlu untuk menceritakan berbagai aktifitas da’wah yang telah kita lakukan kepada orang lain agar dapat dijadikan contoh/teladan. tapi dalam hal ini juga harus disertai dengan kehati-hatian karena tidak jarang pada kasus seperti ini menjadikan seseorang manambah-nambah cerita dari yang sebenarnya, berelebih-lebihan atau menikmati setiap pujian yang diberikan orang lain kepadanya.
Sebelum menceritakan apa-apa yang telah kita lakukan di dalam da’wah kepada orang lain maka hendaklah kita mampu meraba kekuatan diri kita. Apabila hati kita tetap bersih, melihat semua manusia adalah kecil, memandang sama segala pujian, kecaman orang dan kita hanya berharap dengan menceritakan hal itu kelak orang lain akan mengikutinya atau akan mencintai kebaikan yang ada didalamnya maka hal ini dibolehkan bahkan dianjurkan selama jiwa kita bersih dari berbagai penyakitnya karena menjadikan orang mencintai kebaikan adalah suatu kebaikan.
Seperti yang diceritakan dari Utsman bin ‘Affan bahwa dia mengatakan,”Aku tidak pernah menyanyi, tidak berangan-angan dan tidak juga menyentuh kemaluanku dengan tangan kananku sejak aku membaiat Rasulullah saw.”
Atau seperti yang dikatakan Abu Bakar bin Abbas kepada putranya,”Wasapadalah engkau dari maksiat kepada Allah swt didalam ruangan ini. Sesungguhnya aku telah mengkhatamkan Al Qur’an di ruangan ini sebanyak 12.000 kali.”
Akan tetapi apabila diri kita lemah, tidak tahan dengan pujian orang lain, mudah muncul penyakit hati atau akan memunculkan riya didalamnya apabila menceritakan aktivitas da’wah kita itu maka lebih baik menahan diri dari menceritakannya meskipun menginginkan agar orang lain mengikutinya atau menyukai kebaikan yang ada di dalamnya.
Dan kalaupun ingin agar orang lain bisa mengikutinya dan mencintai kebaikan yang ada didalamnya dengan cara menceritakannya maka ceritakanlah aktivitas tersebut kepada mereka tanpa menisbahkannya kepada diri kita, demi menghindari adanya riya’ didalamnya.
Adapun beberapa kiat untuk menghilangkan penyakit riya’, menurut Imam Ghozali adalah :
1. Menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain, menghindari pahitnya ejekan dan anusias dengan apa-apa yang ada pada manusia, sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Abu Musa berkata,”Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan mengatakan,’Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang dengan gagah berani, orang yang berperang karena fanatisme dan orang yang berperang karena riya’ maka mana yang termasuk dijalan Allah? Maka beliau saw bersabda,’Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah maka dia lah yang berada dijalan Allah.” (HR. Bukhori)
2. Membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai ibadah yang dilakukannya hingga hatinya merasa nyaman dengan pengamatan Allah SWT terhadap berbagai ibadahnya itu.
3. Berusaha juga untuk melawan berbagai bisikan setan untuk berbuat riya pada saat mengerjakan suatu ibadah.
Wallahu Alam

No comments: